Kamis, 2 Januari 2025. Segenap SDM PPTQ Qoryatul Qur’an mengikuti penyuluhan dan pembekalan ilmu psikologi dari RS Nirmala Suri Sukoharjo. Bertempat di Masjid Widad El Fayez Gabeng, pukul 09.00 WIB sampai selesai.
Majelis dibuka oleh Ustaz Edi Casedi, S.Pd.I., M.P.I selaku Wadir Kepengasuhan Pesantren. Prakata pengantar disampaikan oleh Wadir Litbang, Ustaz Luthfi Zubaidi, Lc., M.H.I, yang menyampaikan urgensi pelaksanaan kegiatan pagi hari ini.
Segenap SDM pesantren harus selalu bersiap masuk kembali setelah liburan. Mempersiapkan bekal kepengasuhan dalam bersikap kepada santri, penanganan masalah yang pasti akan muncul, dan bagaimana cara menghadapi komplain wali santri.
“Hadirkan kembali niat agar setiap aktivitas di pesantren ada ruhnya. Tidak sekadar rutinitas yang hilang maknanya,” kata Ustaz Luthfi. Beliau meminta segenap SDM untuk mengikuti penyuluhan ini dengan baik agar bisa memberi hasil yang maksimal.
Narasumber pertama yang menyampaikan penyuluhan adalah Psikolog RS Nirmala Suri Sukoharjo, yakni Bapak Maulana Rizqi Wilananda, S.Psi., M.Psi. Beliau mengawali dengan mengatakan bahwa di dunia pendidikan banyak sekali kasus kekerasan terjadi.
Penyuluhan disampaikan oleh Bapak Maulana Rizqi Wilananda, S.Psi., M.Psi |
“Adanya sosial media membuat kasus tersebut cepat sekali menyebar informasinya,” ungkap Pak Maulana. Penyuluhan ini bertujuan meminimalisir agar tidak muncul risiko dan potensi adanya kasus kekerasan lagi, terutama di dalam pesantren.
Zaman terus berkembang, teknologi terus maju. Kita harus meluangkan waktu untuk mendidik sekaligus meluangkan waktu mengikuti perkembangan zaman. Sensitivitas anak sekarang tentu tidak sama dengan anak zaman dulu.
Pak Maulana menukil salah satu hadis yang berisi pesan untuk mendidik anak sesuai zamannya yakni, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.”
Beliau menekankan agar peserta penyuluhan dapat memahami manajemen penanganan dan pencegahan kasus kekerasan di pesantren. “Ikuti penyuluhan ini dengan aturan: hadir, penuh, utuh,” pesan Pak Maulana agar audiens bisa lebih fokus.
Materi utama disampaikan oleh Psikolog RS Nirmala Suri Sukoharjo, Ibu Khotimatun Na'imah, S.Psi., S.Pd.I., M.Psi. Menurut beliau penyuluhan ini lebih pada sharing ilmu dan berbagi pengalaman.
“Ini adalah langkah tepat, edukasi untuk mencegah agar ke depannya tak ada kasus kekerasan lagi,” kata beliau. “Kalaupun ada, setidaknya kita sudah harus menyiapkan penanganannya. Harus peka kondisi diri dan sesama rekan.”
Kasus kekerasan di pesantren banyak sekali, tak hanya di fisik saja, ada juga verbal, bullying, kekerasan seksual, dan sebagainya. Mirisnya, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Bisa kita lihat beritanya di internet.
Ibu Khotimatun Na'imah kemudian menyampaikan survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek pada 2020 di 29 kota pada 79 kampus, yang menyebutkan terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap menjaga nama baik kampus (VOA Indonesia, 2022).
Ibu Khotimatun Na'imah, S.Psi., S.Pd.I., M.Psi sampaikan fakta terjadinya kekerasan di dunia pendidikan |
“Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan di dunia pendidikan itu merata di semua jenjang pendidikan,” kata beliau. “Kita harus peka pada dunia anak zaman sekarang. Kita harus melakukan kontrol sosial.”
Pengaruh buruk yang cukup besar datang dari perkembangan dunia digital. Efek negatif bisa didapatkan dari tren anime, aplikasi novel dewasa online, game online penuh kekerasan ataupun seksualitas, dan lainnya.
Perilaku berisiko paling riskan adalah di masa remaja karena adanya penyesuaian tugas perkembangan baru yang merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Perubahan yang bersifat hormonal harus jadi perhatian juga, seperti tumbuh jakun, menstruasi, atau mimpi basah.
Anak yang masuk pesantren akan menghadapi tuntutan perubahan perilaku yang bertujuan menyesuaikan diri. Kadang orang tua berpikir memondokkan anak dengan tujuan agar mandiri dari kebiasaan manja saat di rumah.
Jangan sampai orang tua menganggap pesantren sebagai jasa laundry, memasukkan anak dengan kondisi kurang baik berharap hasilnya menjadi anak baik yang rapi dan wangi seperti hasil laundry pakaian.
Tidak bisa pembentukan karakter hanya diserahkan kepada pesantren semata, tetapi harus ada sinergi pesantren dan orang tua selaku wali dari santri. Tak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Penyebab kekerasan bisa disebabkan adanya budaya patriarki, di mana adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Kasus ini biasanya juga diikuti keengganan atau ketakutan korban melapor sehingga kekerasan terus terjadi.
Adanya budaya victim blaming yang menyebutkan bahwa menjadi korban adalah aib di mata masyarakat, sehingga malu untuk melaporkan padahal itu bisa menjadi efek jera bagi para pelaku kekerasan.
Minimnya laporan dan sikap menutupi juga sering menjadi sebab maraknya kasus karena tak ada tindakan penanganan. Instansi atau yayasan pendidikan menutupi kejadian itu karena tidak mau namanya jadi buruk di masyarakat.
Penyuluhan diikuti segenap SDM PPTQ Qoryatul Qur'an |
Kasus kekerasan seksualitas di pesantren bahkan ada yang berdalih dengan dalil agama. Doktrin samina wa athona yang tidak pada tempatnya. Kesimpulannya, kasus kekerasan di dunia pesantren itu sangat kompleks.
Strategi mencegah kekerasan seksual bisa diawali dengan menggunakan medsos untuk menyebarkan informasi mengenai pencegahan kekerasan seksual. Lakukan edukasi di media sosial agar banyak yang menyadari pentingnya penanganan ini.
Ibu Khotimatun Na'imah kemudian menyampaikan bahwa yang perlu dilakukan oleh individu agar tidak menjadi pelaku kekerasan harus bisa mengenali kondisi diri sendiri. Kecenderungan yang ada harus menjadi analisa diri.
Beliau menganjurkan agar menghubungi pusat layanan kesehatan mental di lingkungan terdekat apabila merasa ada yang tidak 'sewajarnya' terjadi pada diri sendiri. Konsekuensinya, harus mau mengikuti treatment dengan kepatuhan dan kesungguhan agar dugaan perilaku menyimpang dapat diminimalisir.
Kemudian, agar tidak menjadi korban kekerasan, hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengaktifkan alarm waspada. Ketika ada sinyal akan terjadi sesuatu yang buruk maka segera menjauh atau melaporkan. Latih diri untuk menghindar.
Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan oleh pesantren untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan? Harus membentuk tim gercep (gerak cepat) ketika muncul risiko atau potensi kekerasan. Amati kebutuhan dan kondisi yang dialami.
Speaker dalam acara penyuluhan psikologis bersama RS Nirmala Suri |
“Pesantren juga harus membuat rencana strategi pendekatan baik secara individu, klasikal, atau khalayak,” kata Bu Khotimatun Na'imah menyarankan, “Harus menyediakan ruang psikologis dan fisik yang aman dan nyaman untuk korban.”
Akhirnya, harapan dengan diadakannya penyuluhan psikologis ini bisa mencegah segala bentuk kekerasan di pesantren. Menangani, melindungi, dan memulihkan kondisi jika ada korban. Melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku.
Dan yang tak kalah penting tentu saja agar terwujud lingkungan tanpa kekerasan di PPTQ Qoryatul Qur’an. Menjamin agar tidak berulang terjadinya kekerasan dalam bentuk apapun di pesantren.
Terima kasih kepada Ibu Khotimatun Na'imah, S.Psi., S.Pd.I., M.Psi., dan Bapak Maulana Rizqi Wilananda, S.Psi., M.Psi., atas materi penyuluhan yang telah disampaikan. Semoga menjadi bahan edukasi bagi kita semua dalam mewujudkan pesantren yang ramah pada peserta didik dan warga pesantren pada umumnya.
Posting Komentar untuk "Penyuluhan SDM PPTQ Qoryatul Qur’an bersama RS Nirmala Suri: Manajemen Risiko Penanganan dan Pencegahan Kasus Kekerasan di Lingkup Pesantren"